Merangkai “Mozaik” Identitas Dayak


Apa yang terbayang ketika pertama kali memegang buku ini, saya langsung berujar dalam hati. “Ini pekerjaan besar. Energi besar. Dan dana besar.”

Bagaimana tidak, untuk memetakan dan mengidentifikasi subsuku dan Bahasa Dayak di seluruh Kalimantan Barat (Kalbar), bukan hal mudah. Dengan luas 746.305 km persegi dan infrastruktur jalan yang sulit ditembus, membuat pekerjaan ini lumayan berat. Ini satu rangkaian. Pekerjaan besar, butuh kemampuan managerial dan kemampuan teknis yang baik. Energi yang terus mengalir. Dan, dukungan dana. Ketiganya harus singkron.

Buku berjudul “Mozaik Dayak, Keberagaman Subsuku dan Bahasa Dayak di Kalimantan Barat,” ditulis oleh Sujarni Alloy, Albertus, dan Chatarina Pancer Istiyani. Sebagai editor adalah John Bamba. Buku ini diterbitkan Institut Dayakologi. Lembaga yang konsen pada isu-isu pemberdayaan rakyat.


Pekerjaan besar ini, penelitiannya sudah dimulai sejak 1997. Buku ini dibagi menjadi lima bab. Bagian satu, penelitian etnolingusitik. Kedua, tentang Dayak. Ketiga, selayang pandang Kalimantan Barat. Keempat, keberagaman Suku Dayak di Kalimantan Barat. Kelima, kesimpulan dan rekomendasi.

Dalam buku ini, penelitian terfokus pada dua hal, bahasa dan keberagaman subsuku Dayak. Dari bahasa, orang bisa mengidentifikasi sebuah bangsa. Bahasa adalah bangsa. Bahasa tak sekedar alat komunikasi, satu orang dengan lainnya. Penelitian dalam buku ini, merupakan identifikasi terhadap pembentuk identitas dan etnisitas masyarakat Dayak. Bagaimanapun juga, identitas merupakan sesuatu yang penting, karena itulah yang membentuk jati diri. Identitas membentuk karakter manusia.

John Bamba, menulis dalam kata pengantarnya menulis, bahasa menyimpan beranekaragam keindahan, kearifan, dan keunikan tradisi, pengetahuan, dan teknologi. Bahasa merupakan the last frontier yang membentengi berbagai kearifan tersebut dari kepunahan.

Buku ini memberikan berbagai penelitian etnolinguistik dan memiliki pengertian luas dan menyeluruh, tentang keberadaan subsuku dan bahasa atau dialek Dayak di Kalbar. Data yang dikumpulkan meliputi nama subsuku, nama bahasa, sebaran wilayah dan subsuku dan bahasa, jumlah populasi tiap suku dan penutur bahasa, kumpulan kata-kata asasi berdasarkan daftar Swadesh dan James Collins, contoh penggunaan sehari-hari dan sejarah subsuku yang bersangkutan (hal xxv).

Secara umum, dikenal kelompok subsuku Dayak berbahasa Melayik, Bidayuhik, Ibanik, dan Uud Danumik. Bahasa Dayak adalah bahasa lisan. Meski berisi tentang berbagai macam data tentang sebuah penelitian ilmiah, namun buku ini ditulis dengan gaya populer. Bahasanya mengalir.

Buku ini memberikan gambaran, siapa sebenarnya masyarakat Dayak? Pengambaran dilakukan dengan menelusuri identitas manusia Dayak. Dayak pada mulanya memang hasil rekonstruksi kolonial untuk menyebut seluruh penduduk asli Pulau Borneo dan memudahkan proses administrasi mereka (hal 11). Namun, sumber lain menyebut bahwa Dayak berasal dari dayaka (dari Bahasa Kawi) yang berarti suka memberi. Ada juga yang menyebut, Dayak berasal dari istilah daya yang berarti ’kekuatan’.

Pasang surut identitas Dayak berbaur dengan sejarah yang membentuk masyarakat itu sendiri. Pada perkembangannya, identitas Dayak juga meluruh seiring dengan masuknya berbagai agama di Kalbar. Ada kondisi, ketika masyarakat Dayak masuk agama Islam, identitas keetnisannya berubah menjadi Melayu atau Senganan. Pada perkembangannya, orang Dayak yang masuk Islam, mereka tetap memakai identitas kedayakan mereka. Namun, hal itu bukanlah sesuatu yang merisaukan. Identitas bukan sesuatu yang statis, tapi dinamis. Identitas diubah menurut dinamika masyarakat (hal 12).

Pencarian identitas berbaur dengan berbagai nilai dan budaya lain. Apalagi di Kalbar yang terdiri dari beragam etnis ini. Kondisi itu bisa meluruhkan identitas atau malah memperkuat identitas itu sendiri. Perpaduan budaya juga menghasilkan akulturasi budaya.

Buku ini memberikan berbagai gambaran dan profil dari setiap kabuapten atau kota yang ada di Kalbar. Tak hanya itu, berbagai data, sejarah, asal usul, dan migrasi berbagai suku yang menempatinya, membuat buku ini juga menarik sebagai kajian. Namun, munculnya berbagai grafik dan ilustrasi, terkadang membuat keasyikan membaca jadi terganggu. Orang harus dibuat berpikir dan merenung sejenak, apa maksud dari gambar ini. Walaupun, pada bagian bawah, akhirnya, pertanyaan bisa terjawab.

Bagian empat membahas keberagaman suku Dayak di Kalimantan Barat. Bagian ini berisi sejarah penyebaran subsuku di Kalbar. Wilayah penyebaran, jumlah penutur, bahasa dan berbagai adat tradisi yang dimiliki setiap subsuku Dayak.

Sekarang ini, ada 151 subsuku Dayak di pedalaman Kalbar. Subsuku, bisa terdiri dari satu subsuku Dayak itu sendiri. Misalnya, subsuku Dayak Angan. Subsuku Dayak Banyadu’, Baya dan lainnya. Namun, ada subsuku Dayak, terdiri dari 12 subsuku. Misalnya saja subsuku Dayak Bakati’. Memiliki 12 subsuku Dayak Bekati’. Ada Dayak Bekati’ Kuma. Dayak Bekati’ Lumar, dan lainnya. Bahkan, subsuku Dayak Kanayatn, memiliki 32 subsuku Dayak Kanayatn.

Pemukiman yang menyebar dalam berbagai wilayah, membuat bahasa yang digunakan juga berbeda. Kontur dan kondisi alam di Kalbar, menambah jumlah subsuku Dayak. Sulitnya menembus wilayah, turut membuat subsuku Dayak, memiliki bahasa berbeda.

Subsuku Dayak tinggal menyebar di berbagai tempat yang bisa membuat mereka melakukan berbagai aktivitas berladang atau berburu. Terkadang, wilayah mereka yang terpencil, tak bisa dijangkau oleh orang lain.

Salah satu contoh, subsuku Dayak Badat di Sanggau (hal 68). Subsuku ini ada di perbatasan Sanggau dan Serawak Timur. Wilayah ini tak ada jalur darat. Sulitnya menembus wilayah ini, membuat subsuku Dayak Badat, hanya ada di dua perkampungan. Kampung Badat Lama, terletak di puncak gunung dan Badat Baru di lereng gunung. Orang Dayak menganggap, puncak gunung merupakan wilayah-wilayah suci yang bagus untuk ditempati.

Bab ini juga berisi berbagai cerita rakyat. Yang digali dan menceritakan asal usul sebuah kampung atau tradisi. Misalnya saja cerita tentang tradisi Bawakng (hal 78). Orang subsuku Bakati Riok punya cerita, mereka merupakan satu keturunan dengan Kamang atau ruh orang sakti. Para Kamang ini, bisa dimintai bantuan, jika berada dalam keadaan gawat. Misalnya dalam keadaan perang.

Tempat tinggal masyarakat Dayak, diberi nama berdasarkan berbagai nama sungai di sekitar tempat tinggal mereka. Misalnya, subsuku Dayak Bekati Sebiha. Dinamakan Sebiha, karena tempat tinggal mereka berada di dekat Sungai Sebiha. Atau, subsuku Dayak Membulu’, karena bermukim di Sungai Membulu’. Subsuku Dayak Kenes, dan lainnya. Banyaknya sungai di Kalimantan Barat, membuat sebagian besar nama subsuku Dayak, diberi nama sesuai dengan nama sungai tempat mereka tinggal, atau nama asal sungai mereka berada.

Ada juga subsuku Dayak diberi nama berdasarkan nama gunung. Misalnya, subsuku Dayak Belaban, karena tinggal di Gunung Belaban. Nama juga diberikan sesuai dengan nama binua. Seperti, subsuku Dayak Balantiatn, karena tinggal di Binua Balantiatn. Hal ini menunjukkan kedekatan orang Dayak dengan ruang hidup mereka (hal 331). Ada dua map dalam buku ini. Peta itu menunjukkan penyebaran berdasarkan subsuku dan keberagaman Bahasa Dayak. Ada 151 subsuku dan 168 bahasa.

Buku ini berguna bagi masyarakat Dayak yang ingin mengetahui identitasnya, atau warga lain yang ingin tahu tentang Dayak. Atau, bagi kalangan akademisi, guru dan lingkungan pendidik. Bahkan, buku ini juga bisa dijadikan sebagai acuan bagi muatan lokal.

Namun, buku ini juga membutuhkan berbagai penelitian lanjutan, untuk membuat dan melengkapi berbagai informasi terhadap berbagai subsuku Dayak itu sendiri. Misalnya, bagaimana cara perladangan masyarakatnya, subsuku mana yang peduli dengan pendidikan, bisa berdagang atau lihai dalam masalah ekonomi.
By. Aso Sekaruh Oke

1 komentar:

Komentar yang baik, adalah komentar yang membangun wawasan, dan beretika