Kamis, 02 Februari 2012

DAYU BAKATI MENGGUGAT, Bisakah.....?





SANGKARO BAJI, DAYU BAKATI Pedalaman Akan SONTOK
“TUATN” ABAS KAT NYINSO

Ibarat pepatah muji “tak ada rotan, akar pun jadi”, demikian fenomena yang saat ini terjadi pada kondisi pohon durian (Dihatn) di perkampungan orang pedalaman yang mayoritas masyarakat dayu bakati bengkayang (sakaruh). Makin berkurangnya kayu di hutan karena dibabat melalui aktivitas penebangan liar (illegal logging), perambahan hutan skala besar untuk perkebunan dan lokasi Hutan Tanaman Industri (HTI), untuk lokasi pertambangan dan pembukaan hutan dengan motif mencari keuntungan ‘sebanyak-mungkin’, sepertinya telah memberikan ruang bagi proses pembabatan kayu khas lokal di sekitar hutan rakyat.
Penebangan pohon durian untuk memenuhi kebutuhan kayu bagi konsumen dari luar dengan harga jual yang menggiurkan kini sedang marak terjadi. Tanaman khas yang syarat nilai sosial dan kultural bagi masyarakat pedalaman (Dayu bakati) ini diambang kepunahan. Bila penebangan terus berlanjut, tidak mustahil buah dari tanaman durian yang baru bisa dipanen dengan usia mencapai puluhan tahun tinggal kenangan bagi generasi mendatang. Anak-anak hanya akan bisa gigit jari dan hanya akan dapat “memanen” durian dengan cara membeli. Sementara para orang tua terdahulu yang selama ini dikenal sebagai pewaris bagi generasinya, bisa jadi tidak akan pernah dianggap lagi karena generasi saat ini telah menggadaikan pohon durian untuk dijual, memenuhi kebutuhan jangka pendek. Penebangan pohon durian marak terjadi di beberapa tempat, terutama di Kabupaten Bengkayang kecamatan Teriak .             (KALO LADIAH ASI DA PADULI…?)Fenomena penebangan pohon durian saat ini marak terjadi dibeberapa tempat menyusul diterbitkannya Peraturan Menteri Kehutanan RI Nomor P.33/Menhut-II/2007 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Kehutanan nomor P.51/Menhut-II/2006 tentang Penggunaan Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) untuk pengangkutan hasil hutan kayu yang berasal dari hutan hak. Permenhut ini dikeluarkan tertanggal 24 Agustus 2007.

Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) berdasarkan Pasal 4 ayat 1 digunakan untuk pengangkutan kayu bulat rakyat dan kayu olahan rakyat yang diangkut langsung dari hutan hak atau lahan masyarakat. Dalam hal pemberian izin, pasal 5 menyebutkan: (1) SKAU diterbitkan oleh Kepala Desa/Lurah atau pejabat setara/pejabat lain di desa tersebut dimana hasil hutan kayu tersebut akan diangkut. (2) Pejabat penerbit SKAU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Bupati/Walikota berdasarkan usulan Kepala Dinas Kabupaten/Kota. (3) Dalam hal Kepala Desa/Lurah atau pejabat setara/pejabat lain di desa tersebut berhalangan, Kepala Dinas Kabupaten/Kota menetapkan Pejabat penerbit SKAU.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar yang baik, adalah komentar yang membangun wawasan, dan beretika