MENCARI Dayak Masa Depan
Para Tokoh-tokoh cedikiawan Dayak di jakarta |
Saat ini, kaum feodalisme yang direfresentasikan oleh negara terus menekan Dayak. Intervensi kebijakan ekonomi neoliberal (yaitu,liberalisasi pasar; pemotongan subsidi rakyat; privatisasi asset daerah; liberalisasi impor) yang belakangan semakin intensif melalui berbagai alat-alatnya [Kadin, dsb] ternyata belum dianggap cukup ampuh sebagai solusi bagi krisis umum kapitalisme dewasa ini. Melayu pun memerlukan intervensi politik-ideologis; Dayak harus mendukung serta terlibat aktif dalam barisan perang melawan kemiskinan yang belakangan ini gencar dikampanyekan oleh pemerintah. Kedua tindakan tersebut pada hakekatnya adalah mengamankan Dayak.
Perlawanan Dayak secara umum mengalami peningkatan. Kualitas dan kuantitasnya bisa dibaca mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Meski demikian, kekuatan, daya pukul dan kualitas perlawanan itu sama sekali tidak merata, baik dari segi teritorial maupun sektor tertentu. Meskipun jumlah perlawanan meningkat, namun yang perlu dicatat adalah aksi-aksi Dayak itu mayoritas dilancarkan setelah pemerintah melayu mengeluarkan kebijakan yang strategis dan sangat terasa bagi Dayak. Sehingga, spontanitas memang masih menjadi ciri yang melekat pada perlawanan Dayak, karena sikapnya yang baru pada tahap menanggapi tindakan para pejabat, serta terbatas pada persoalan jabatan politik dan ekonomi, ketimbang merupakan hasil inisiatif dari bangsanya sendiri untuk melawan dan memberontak. Apalagi perlawanan ini belum menemukan satu bentuk dan tujuannya sama sekali, dalam periode transisional apalagi strategis. Sehingga selain spontan, ia juga masih sporadik dan sendiri-sendiri. Perlahan-lahan ciri ini mulai mencair. Meskipun secara umum memang wataknya masih spontanitas yang pasif, namun dari beberapa momentum telah menunjukkan perubahan yang cukup maju dan menimbulkan optimisme. Momentum Pemilihan Kepala Daerah Langsung sejak tahun 2005 (Pilkada) menjadi bukti kebangkitan embrionik bentuk perlawanan Dayak yang lebih terorganisir, lebih berwatak multi sektoral, serta berkarakter aktif dan politis dalam tuntutan dan sikapnya.
Secara keseluruhan perkembangan maju gerakan Dayak relatif belum cukup terintegrasi dengan arus perkembangan perjuangan demokratik. Dari ratusan kali aksi perlawanan massa yang berlangsung sepanjang sepuluh tahun ini, belum cukup berkembang luas yang berada dalam orbit program-program perjuangan demokratik. Mayoritas masih dalam arus perlawanan spontan yang berkembang dari proses alamiah. Perlawanan mahasiswa Dayak, maupun oportunisme program-program yang yang dipasokkan elemen-elemen diluar mahasiswa [kaum ekonomisme dan aliran opurtunisme lainnya]. Kemudahan-kemudahan dari atmosfir radikal perlawanan spontan belum mampu diakumulasikan menjadi energi revolusioner, baik dalam makna program maupun wadah-wadah politik massa.
Secara keseluruhan perkembangan maju gerakan Dayak relatif belum cukup terintegrasi dengan arus perkembangan perjuangan demokratik. Dari ratusan kali aksi perlawanan massa yang berlangsung sepanjang sepuluh tahun ini, belum cukup berkembang luas yang berada dalam orbit program-program perjuangan demokratik. Mayoritas masih dalam arus perlawanan spontan yang berkembang dari proses alamiah. Perlawanan mahasiswa Dayak, maupun oportunisme program-program yang yang dipasokkan elemen-elemen diluar mahasiswa [kaum ekonomisme dan aliran opurtunisme lainnya]. Kemudahan-kemudahan dari atmosfir radikal perlawanan spontan belum mampu diakumulasikan menjadi energi revolusioner, baik dalam makna program maupun wadah-wadah politik massa.
Perlawanan Dayak yang selama ini terikat tangannya pada tuntutan tanah (dilakukan aktivis lingkungan, aktivis NGO), saat ini sudah mampu meluaskan cakrawala perjuangannya. Sebenarnya, sebagai gejala kesadaran Dayak dari kungkungan tuntutan akan tanah yang menjadi ciri pokok dari partisipasi Dayak dalam penuntasan reformasi total, dan menjadi tipe yang berbeda di kalbar, sudah menunjukan bahwa Dayak mampu bergerak lebih jauh dari ciri revolusi demokratik dalam makna Eropa dan atau Amerika Latin.
Dayak juga bergerak atas landasan hak-hak demokratiknya, menjatuhkan ratusan kepala desa dan bahkan beberapa juga bupati karena gugatan terhadap KKN, serta penentangannya terhadap ekspansi neoliberalisme, dll yang diwujudkan dalam ekspansi perusahaan Kelapa Sawit yang monokultur itu. Saat ini, walaupun perlawanan menuntut hak tanah terus berlangsung, perlawanan Dayak mulai mendapat basis perluasannya yang melibatkan populasi yang lebih luas melalui gerakan credit union (CU). Kepemilikan tanah yang sempit, rendahnya basis teknologi dan manajemen produksinya menyebabkan Dayak menjadi korban senyata-nyatanya dari serangan nafsu serakah kaum kapitalistik yang diboncengi oleh pengusaha-pengusaha perkebunan dan pertambangan. Akumulasinya telah berlangsung sejak krisis ekonomi di pertengahan tahun 1997. Dari hari ke hari kenistaan imperialisme terus menggiring Dayak pada batas kemampuannya untuk bertahan hidup, meniadakan alternative lain kecuali melawan !!.
Belakangan aksi menentang pejabat non Dayak terus membesar, seperti yang ditunjukkan oleh para mahasiswa, dsb. Seperti halnya mahasiswa, arus perlawanan Dayak mayoritas masih bersifat spontan. Bukan berarti tidak ada kemajuan. Beberapa perkembangan bisa menunjukkan arah perlawanan yang makin maju: mulai menyatunya Dayak dari lokal-lokal yang berbeda, bergerak dalam aksi massa dengan isu yang sama dan relatif terorganisir, sehingga terlihat militansi dan daya tahannya cukup lama misalnya. Kurangnya intervensi dari elemen-elemen yang lebih maju di kalangan Dayak menyebabkan proses integrasi dengan gerakan demokratik ini berjalan sangat lambat.
Kandungan terpenting dalam memahami kecenderungan politis di Kalimantan Barat, yakni bagaimana kita memahami aspek keragaman Dayak itu sendiri. Sementara itu, dalam kontek pemahaman Dayak masa depan, terletak pada kemampuan kita mengelola dengan baik potensi-potensi sosial tersebut menjadi semacam modal politik. Sehingga, keragaman subetnik itu, dapat kita jadikan semacam potensi politik, guna memperkuat Dayak.
Harapan dan angan-angan membangun masyarakat Dayak yang bermartabat dan kuat, bagaimanapun juga harus dikuasai sebagai variabel pendukung pembaharuan, bukan justru dijadikan sumber masalah, untuk kemudian dijadikan alasan terjadinya konflik antar Dayak. Pada tahap bahwa keragaman subetnik dan agama yang dianut Dayak dinyatakan sebagai kekayaan atas "model Dayak", menurut hemat penulis akan melahirkan beragam bentuk prasyarat-prasyarat politis yang intinya lebih banyak melakukan beragam akomodasi dan bukan berupa represi politik, seperti pernah dilakukan oleh rezim Orde Baru. Oleh sebab itu, kekuasan negara di tengah-tengah masyarakat Dayak yang serba multi-kultural ini, hendaknya penguasa politik tidak mungkin hanya menyederhanakan masalah melalui praktek politik jargon-jargon seperti: integrasi, kebhinekaan dan bentuk kekuasaan feodal yang hegemonik. Sebaliknya, apabila potensi sosio-kultural itu tidak dikelola dengan baik, besar kemungkinannya akan melahirkan pergesekan-pergesakan politik yang berjung pada ketidak-stabilan politik.
Selama kurun perubahan politik pasca kejatuhan Orde Baru, telah kita saksikan betapa buruknya pengelolaan potensi sosial oleh elit Dayak. Terlebih, apabila kita melihat bangkitnya gerakan kaum muda Dayak akhir-akhir ini, dengan kasat mata, elit politik Dayak terlalu mudah menyederhanakan masalah. Keragaman tuntutan dimaknai hanya sebagai bentuk kerewelan kaum muda serta dianggap mengganggu kedudukan elit politik Dayak. Padahal, suka atau tidak suka, tuntutan perubahan dari beragam kaum muda Dayak di Kalbar, akan terus menerus menjadi sebuah keniscayaan politik yang sulit untuk kita bendung. Keragaman sebagai keniscyaan wacana Persatuan Dayak (PD) hendaknya dijadikan paradigma baru dalam merajut kembali hubungan antarmanusia Dayak yang belakangan selalu hidup dalam suasana penuh konflikstual. Saat ini muncul kesadaran masif bahwa diperlukan kepekaan terhadap kenyataan kemajemukan, pluralitas Dayak, baik dalam subetnik, agama, budaya, sampai dengan orientasi politik.
Tawaran paradigma berupa kesadaran persatuan Dayak, memang, bukanlah hal yang baru. Masalahnya, bagaimana caranya kita dapat memobilisasikan konsep keberagaman tersebut melalui proses pengambilan keputusan politis yang menguntungkan Dayak secara keseluruhan. Pasalnya, selang bertahun-tahun, konsep Persatuan Dayak yang dijabarkan secara politis ke dalam konsep Kebhinekaan, hanya bekerja pada tataran kognitif semata. Sebaliknya, dalam praktek kekuasaan yang ada, justru melakukan tindak penolakan (ketidak-konsistensi), seperti tergambarkan melalui sentralisasi politik dan sosial. Penyelewengan konsepsi berpolitik semacam itu, setidaknya berhasil menghadirkan kondisi yang buruk seperti melahirkan stigma politis atas hak-hak manusia Dayak. Berdasarkan sudut pandang seperti itu, sudah semestinya, yang kita butuhkan sekarang adalah model kekuasaan DAYAK yang cerdas, dalam arti mampu melihat ancaman menjadi potensi.
Tawaran paradigma berupa kesadaran persatuan Dayak, memang, bukanlah hal yang baru. Masalahnya, bagaimana caranya kita dapat memobilisasikan konsep keberagaman tersebut melalui proses pengambilan keputusan politis yang menguntungkan Dayak secara keseluruhan. Pasalnya, selang bertahun-tahun, konsep Persatuan Dayak yang dijabarkan secara politis ke dalam konsep Kebhinekaan, hanya bekerja pada tataran kognitif semata. Sebaliknya, dalam praktek kekuasaan yang ada, justru melakukan tindak penolakan (ketidak-konsistensi), seperti tergambarkan melalui sentralisasi politik dan sosial. Penyelewengan konsepsi berpolitik semacam itu, setidaknya berhasil menghadirkan kondisi yang buruk seperti melahirkan stigma politis atas hak-hak manusia Dayak. Berdasarkan sudut pandang seperti itu, sudah semestinya, yang kita butuhkan sekarang adalah model kekuasaan DAYAK yang cerdas, dalam arti mampu melihat ancaman menjadi potensi.
Konsepsi Dayak dengan segala bentuk keragaman kulturalnya, pada tahapan teoritik, akan membawa masyarakat Dayak pada bentuk kesadaran, bahwa kita merupakan bangsa yang majemuk (plural), bangsa yang kaya ragamnya (diversity) dan sebagai bangsa yang besar (big nations). Dengan kenyataan semacam ini, konklusi yang hendak ditawarkan di sini adalah; bagaimana para pelaku politik Dayak mempunyai tanggung jawab yang memadai- dan dengan maksud mampu mengakomodir segala bentuk kemajemukan sosial. Sifat hetrogenik semacam ini, bilamana tidak dijadikan sebagai landasan kerja politik, menurut hemat penulis akan semakin menjauhkan posisi para politisi negara/aparatus negara dengan massa pendukungnya. Terlebih, apabila kita kaitkan kondisi tersebut dengan tuntutan perubahan ke depan. Secara terang benderang, para politisi telah meramalkan suatu kondisi dunia dengan meningkatnya kesadaran etnositas yang serba tidak tunggal (majemuk) dan penuh konflik jangka pendek. Indikasi kebenaran teoritik tersebut, secara kasatmata sudah kita rasakan saat ini. Persoalannya, model demokrasi yang menekankan kesadaran pluralitas Dayak, harus didasarkan semangat egaliterisme dengan muatan dan prasayarat yang sangat kompleks.
Bilamana model persatuan Dayak yang menekankan pluralitas hendak diterapkan, sepatutnya kita mencermatinya secara lebih kritis lagi. Salah praktek, akibatnya akan mengakibatkan anarkisme kekuasaan dan kemudian dibarengi oleh anarkisme sosial yang cenderung distruktif antar Dayak. Maka dari itu, di tengah bangkitnya kesadaran lokal yang kian hari kian meningkat, sudah sepatutnya beragam piranti organisasi Dayak jauh lebih serius, manakala kita menghendaki geo-politik Dayak hendak dipertahankan. Dengan lain perkataan, apakah kita akan tetap mempertahankan konsepsi politik Dayak dalam bentuk wacana integratif atau kita mengubahnya menjadi bentuk Dayak yang lebih pluralisti-seperti kita memikirkan kembali bentuk negara feredartif. Tanpa kesiapan untuk melakukan perubahan paradigma Dayak secara lebih mendasar, saya mengkhawatirkan cara-cara penanggulangan masalah seperti yang diberlakukan terhadap Madura, akan sangat tidak bermanfaat dalam perspektif Dayak ke depan.
Karenanya, kerumitan akibat luasnya ruang lingkup konflik di antara Dayak, merupakan potensi gangguan kekerasan antar Dayak. Bentuk keragaman dengan konsekuensi menguatnya politik kekerasan, muncul karena adanya berbagai macam alasan, seperti kegagalan lembaga-lembaga politik dan hukum untuk menyediakan perangkat/aturan bagi penyelesaian konflik maupun mengatasi keluhan-keluhan, konsolidasi (penguatan) identitas-identitas komunal dimana kelompok-kelompok bersaing mendapatkan akses untuk atau kendali atas sumber-sumber ekonomi, dan penggunaan kekerasan yang dijatuhkan oleh etnik lain untuk menghasut atau menekan konflik.
Berdasarkan realitas politik seperti itu, paham persatuan Dayak diharapkan mampu memberikan kontribusi terhadap proses demokratisasi diKalbar kedepan. Upaya terus menerus mengetangahkan persamaan hak politik di tingkat sosial yang lebih luas, akan menghubungkan persatuan Dayak dengan demokrasi. Terlebih jika kita melihat sisi keragaman Dayak itu, sebagai modal sosial, maka yang kita lihat bahwa hetrogenitas itu menawarkan jalur-jalur baru yang kelak kemudian hari akan memberi jalan alternatif pembaharuan politik Dayak di Kalimantan Barat. Karena Persatuan Dayak itu adalah sebuah ideologi dan sebuah alat atau wahana untuk meningkatkan derajat manusia Dayak dan kemanusiannya, maka konsep politik harus dilihat dalam perspektif fungsinya bagi kehidupan manusia Dayak. Dasar untuk menempatkan hakekat kemanusiaan, menjadi memiliki relevansi, terlebih melihat kondisi politik Dayak, yang kian hari kian menunjukan tindak persaingan tidak sehat.
Kedepan, politik Dayak membutuhkan pintu baru, sebuah cara untuk mengenali kembali akar sosialnya sendiri. Meskipun begitu, di bawah interpretasi-interpretasi yang penuh bias itu adalah demokrasi dan semangat pembaharuan yang pluralistik merupakan pilihan yang sangatlah sulit bagi kehidupan di tanah air.Langkah untuk mengetahui, meskipun sulit untuk mengatakan, mengapa dan bagaimana demokrasi menjadi jalan yang terjal untuk sebuah prasyarat perubahan, kita dapat kembali memaknai seluruh peristiwa perubahan sebagai bagian yang tidak terpisahkan untuk terus menjadikan masa lalu yang buruk untuk membangun kembali, sekian catatan kegagalan bangsa ini mencari bentuknya yang paling ideal. Bahwa kesadaran, catatan dan harapan yang kini tak ubahnya sulit kita pahami, tetapi setidaknya kesadaran akan perubahan bisa memberikan cukup informasi untuk mengetahui bahwa kekerasan, bahkan kebrutalan politik, bukanlah satu-satunya modal kultural yang kita miliki. Masih terdapat banyak cara, untuk menyusun kembali "puzzle" keragaman Nusantara dalam kerangka Indonesia moderen yang jauh lebih manusiawi.
Namun, semuanya akan benar-benar menjadi kenangan kolektif, bilama kita tidak menyadari perubahan itu adalah keniscayaan sejarah dari rentetan pulau dan kehidupan Dayak dimasa depan. Akhirnya, penulis dan segenap anggota Pergerakan Cendekiawan Dayak (PCD) Kalbar mengucapkan selamat dan sukses atas penyelenggaraan Munas II DAD se-Kalimantan. Viva Dayak.
baca Juga :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar yang baik, adalah komentar yang membangun wawasan, dan beretika